Selasa, 21 September 2010

(Fiksi) Ya. Beni autis, lalu?

Namanya beny, usianya lima tahun. Kini aku hanya bisa menatap anak lelaki yang telah terbujur kaku di dalam peti jenazah itu.
Aku dinding rumah Beny. Aku adalah saksi bisu sekaligus tempat Beny meregang nyawa.
Kini tak ada lagi tawa lepas Beny saat berputar merentangkan tangan bak pesawat terbang. Tak ada lagi keseriusan Beny saat melihat semut yg berjalan beriring.
Saat orang-orang tak paham apa yg Beny katakan, aku seoalah mengerti. Saat Beny menangis meronta, orang tuanya justru terus memarahinya menyuruh dia diam. Ah, ingin rasanya memeluknya untuk membuatnya tenang.
Yang paling membuat miris adalah saat arisan warga komplek sebulan lalu di rumah ini. Ibu-ibu komplek satu persatu datang ke rumah orang tua Beny yg cukup mewah. Tak jarang beberapa dari mereka membawa anaknya yang juga seusia Beny.
Saat itu Beny sedang bermain mobil-mobilan di dekat ruang tamu. Ia asik memperhatikan roda yg memutar di mobil-mobilan itu.
"Oh, itu anaknya Bu Nia yg autis", ujar seorang ibu pada ibu yang lain.
Dengan tatapan sinis, mereka memperhatikan gerak - gerik Beny sambil menggenggam erat tangan anaknya seolah ada bahaya yang mengancam.
Hey, aku memang hanya dinding. Tapi aku bersyukur. Paling tidak aku tidak sepicik seperti manusia itu.
Lihat Beny! Ya. Dia memang autis, lalu kenapa?
Ia tidak minta dilahirkan dengan kurang sempurna. Ia pun ingin kita mengerti bahasanya, menerima keberadaannya, bermain bersama. Apa yang salah dengan diri Beny dan anak autis lainnya?
Sehingga kalian begitu bangga saat mengejek kaum penyandang autis.
Karena orang tua Beny berprofesi sebagai polisi dan pengacara, Beny diasuh oleh Suster Eny. Sampai suatu saat Beny yang kembali masuk Rumah Sakit karena susternya lalai memperhatikannya. Kepala Beny lagi - lagi mengeluarkan banyak darah karena ia membenturkan kepalanya sendiri ke dinding, ya, ke aku.
Jika aku mampu, ingin sekali aku mencegah Beny melakukannya, atau sekedar berteriak memanggil suster Eny yang sedang membuatkannya susu di dapur.
Berulang kali karena kejadian yang sama, nyawa Beny selamat. Tapi tidak untuk kali ini. Menurut cerita orang tua Beny, Beny sempat di rawat di Rumah Sakit selama satu jam. Namun karena Beny mengeluarkan banyak darah, nyawanya tidak terselamatkan.
Kini, melihatnya terbujur kaku tanpa nafas, aku sedih. Aku pasti merindukan keasikannya pada dunianya tanpa menyakiti orang lain.
Tuhan memberi label autis pada Beny, semata-mata mungkin untuk membiarkan hati Beny tetap polos, bersih.
Tenanglah Kau di Sisi Tuhan, Beny. Semoga kawan-kawan mu tidak mengalami nasib sepertimu :')

Tidak ada komentar: