Selasa, 21 September 2010

(Fiksi) Anak Jalanan juga Anak Bangsa

Dulu, dulu sekali. Ketika seragam merah putih itu melekat di badanku, aku hafal salah satu pasal di UUD'45 yaitu pasal 34 ayat 1 yang bunyinya:
"Fakir miskin dan Anak terlantar dipelihara oleh negara".
Sebatang rokok menemaniku berpikir, apakah aku salah ingat akan isi pasal tersebut?
Bis demi bis mengeluarkan asap hitam dari knalpot, menambah pekat udara kotor di ibukota ini. Aku duduk di halte sambil memperhatikan anak-anak kecil yang dengan ukulelenya bernyanyi menghadap kaca jendela mobil-mobil yang berhenti di lampu merah.
Aku kembali mengingat isi pasal yang aku sebutkan tadi. Benarkah aku salah ingat? Atau negara ini yang pura-pura lupa ada pasal tersebut?
Bagaimana mungkin anak kecil itu harus tidur tanpa alas di pinggiran jembatan, bangun tidur lalu mencari makan dengan mengumpulkan koin hasil menjual suara di tengah terik, atau bahkan mereka selalu dihinggapi ketakutan kalau tiba-tiba polisi pamong praja atau petugas kamtib membawa paksa mereka untuk "dibina". Ingin tertawa aku, apanya yang dibina jika anak-anak jalanan itu ditangkap lalu dibebaskan dengan uang tebusan. Tidak malukah pejabat negara ini pada kaum marjinal yang berguru kehidupan dijalan?
Negara yang harusnya menghidupi mereka. Bukan uang tebusan dari kaum jalanan yang digunakan untuk menghidupi pejabat-pejabat negara.
Kadang jika aku melihat anak-anak itu mengais rejeki di jalan, aku malu pada diriku. Aku mahasiswa, pakaianku rapih, bersih, tapi kemampuanku masih sebatas menadahkan tangan pada orang tuaku. Lebih parahnya, aku bangga pada kekayaan yang dimiliki orang tuaku.
Aku mungkin tidak sanggup harus hidup di jalan seperti anak-anak itu. Ya, aku memang patut bersyukur atas nikmat Tuhan. Sebagai sesama manusia aku harus peduli pada mereka yang kurang beruntung seperti anak-anak jalanan ini.
Tapi sebentar, lalu apa gunanya pemerintah? Dimana kewajiban mereka yang seharusnya memberi kehidupan lebih baik pada rakyatnya yang kurang beruntung. Ooh, miris sekali aku melihat kehidupan negaraku.
Bis yang aku tunggu datang. Aku duduk di kursi belakang. Kali ini perjalananku pulang dari kampus dihibur oleh seorang anak lelaki yang kira-kira umurnya dua belas tahun.
"Maju tak gentar, membela yang benar", nyanyi anak itu dengan gitar usangnya.
Ya, aku terkejut karena ia menyanyikan lagu kebangsaan. Lain dari pengamen kebanyakan. Begitu cintanya ia pada negerinya, tanpa harus ia pikirkan apakah negeri ini juga mencintainya.
Maju tak gentar dan Garuda pancasila adalah pilihan lagu anak lelaki itu untu menghibur bis jurusan grogol - kp.rambutan siang itu. Saat kaum berpendidikan mungkin sudah lupa dengan lirik lagu-lagu tersebut, dengan lantang dan bangganya, pengamen cilik itu bernyanyi berharap suaranya bisa menghibur penumpang.
Selembar seribuan aku masukkan ke dalam plastik bekas wadah permen. Senyum tulus terimakasih terpancar dari raut wajahnya yang hitam mungkin karena karbon monoksida.
"Semoga kau dan teman-temanmu menjadi anak bangsa hebat yang lahir dari kerasnya hidup di jalanan", doaku dalam hati

Tidak ada komentar: